Tuesday, December 27, 2005

Christmas Bash di WKA

Bondan Winarno- Penulis -Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan masih akan terus melakukan pengembaraannya. (E-mail: bondanw@gmail.com)
Christmas Bash di WKA
Kirim Teman Print Artikel
Bondan Winarno
Tiram dari Bretagne

Seperti tahun-tahun sebelumnya, William Wongso selalu mengundang kerabat dan teman-temannya yang tergabung dalam IWFS (Indonesian Wine & Food Society) untuk makan malam menjelang Natal di WKA (William’s Kafe Artistik), Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan.
Kali ini, "bintang"-nya adalah Jamon de Jabugo (baca: hamon de habugo), ham spesial yang didatangkan dari Spanyol. Makan malam menjelang Natal di WKA memang selalu merupakan acara yang ditunggu-tunggu. Pertama, karena makanan yang disajikan selalu istimewa dan mungkin sekali belum pernah dicicipi sebelumnya. Kedua, acara itu merupakan kesempatan baik untuk bertemu teman-teman seminat dan saling mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru.
Makan malam diawali dengan tiram yang diterbangkan khusus dari Prancis (fin de claire de Bretagne). Berbeda dengan oyster dari Australia yang biasanya "gendut-gendut", orang Prancis justru menyukai tiram yang langsing. Tak heran bila beberapa teman yang hadir merasa "tidak berdosa" menyantap setengah lusin tiram dari kawasan pantai barat Prancis itu. Hanya disiram dengan sedikit lemon peras dan saus vinaigrette (cuka anggur dengan bawang merah cincang), tiram itu terasa heavenly.
Anggur yang mengiringi tiram ini adalah anggur putih manis dari Egon Muller yang pernah saya tulis sebelumnya di kolom ini tahun lalu. Anggur putih – khususnya ice wine – dari Jerman ini memang terkenal karena kelembutannya dan rasanya yang manis. Sangat cocok untuk mendampingi tiram yang lumer di mulut dan meluncur di tenggorokan.
Perhatian mulai terbelah ketika ham yang telah disayat tipis-tipis disajikan di atas piring-piring besar, dibawa ke meja. Mereka yang sedari tadi mengerubungi meja tiram, mulai bergeser ke meja ham. William pun mulai repot menjelaskan mengapa Jamon de Jabugo ini merupakan permata kuliner yang tak boleh dilewatkan. Menurutnya, ham yang kami nikmati malam itu berkualitas 5J yang merupakan kualitas puncak.
Ham-nya terus mengalir. Seperti telah menjadi tradisi, ham khusus hanya boleh di-slice (disayat tipis-tipis) sesaat sebelum dimakan. Di negerinya sana, ham juga tidak boleh dipotong dengan mesin, melainkan dengan tangan – menggunakan pisau khusus yang tajam. Prosciutto dari Italia (juga disebut Parma Ham), misalnya, tidak akan disebut prosciutto lagi kalau dipotong dengan mesin.
Bondan Winarno
William Wongso dengan Jamon de JabugoSekalipun diproses dengan garam (seperti umumnya cara curing ham), tetapi Jamon de Jabugo ini ternyata rasanya tidak asin. Setiap kaki babi digantung minimal selama tiga tahun dalam ruang khusus yang sangat terkontrol, sebelum dapat dipasarkan sebagai Jamon de Jabugo. Sedikit bulu hitam di ujung dan kuku-kuku kakinya sengaja tidak dipotong untuk menunjukkan otentisitas bahwa ham ini berasal dari babi khusus yang disebut pata negra (berkaki hitam). Hewan ini endemik di daerah Sierra de Aracena, Spanyol, dan merupakan ‘keturunan’ babi hutan dari daerah Mediteran. Babi hutan yang sudah diternakkan selama ratusan tahun ini (domesticated wild boar) seekornya bisa mencapai berat hidup 150 kilogram.
Ketentuan yang membedakan Jamon de Jabugo dari ham yang lain adalah berapa lama babinya diberi makan khusus dengan acorn (kacang dari pohon oak). Babi ini – disebut jamon Iberico – ini memang biasanya diternakkan di sela-sela hutan oak. Menu pakan babi ini membuat tekstur dagingnya lebih halus seperti halnya sapi Kobe yang selain diberi pakan khusus juga diberi minum bir dan dipijat pada waktu-waktu tertentu. Jenis pakan, cara peternakan, dan cara membuatnya membuat daging ham ini mengandung kolesterol rendah. Menurut William, lemaknya mengandung 60% oleic acid yang sekualitas dengan minyak zaitun, sehingga merupakan kolesterol yang baik bagi kesehatan.
Dalam salah satu literatur yang pernah saya baca, Jamon de Jabugo adalah ham terbaik di dunia – the caviar of ham. Jabugo sendiri sebenarnya adalah nama desa di Sevilla tempat ham ini diproduksi secara khusus. Ham ini merupakan bagian dari tapas (snacks khusus Spanyol) yang disajikan di restoran-restoran papan atas di Spanyol.
Kalau sebelumnya kami berdiri di sekitar meja untuk menikmati tiram dan ham, untuk appetizer berikutnya kami dipersilakan duduk di meja yang telah disediakan. Sajian berikutnya adalah foie gras, hati angsa, yang digoreng sebentar di wajan rata (pan seared) dan disajikan dengan saus mangga. Ou la la! Foie gras di WKA, menurut saya, memang yang paling enak. Kalau ada kesempatan makan di sana, silakan coba foie gras yang dikukus dalam daun selada (lettuce).
Bondan Winarno
Roast ChaponSajian utama malam itu adalah chapon – ayam jantan yang dikebiri ketika masih muda, dan kemudian digemukkan – yang juga didatangkan dari Prancis. Biasanya dipanen setelah berusia 7-10 bulan, sehingga beratnya bisa mencapai empat kilogram lebih per ekor – sedikit lebih kecil daripada kalkun. Sama dengan Jamon de Jabugo yang melibatkan menu khusus bagi hewan potongnya, ayam khusus ini digemukkan dengan susu dan biji-bijian khusus (cereal).
Orang Amerika menyebutnya capon atau caponette. Dagingnya sangat empuk (tender and juicy), sehingga paling cocok untuk dipanggang dalam oven. Sama dengan kalkun, orang Prancis suka menyajikan chapon yang diisi rongga perutnya dengan berbagai sayuran dan daging (stuffed capon). Keempukan dan citarasa yang khas dari chapon unggul jauh dibanding kalkun. Malam itu WKA menyajikan roast capon dengan pasangan yang sangat cocok, yaitu white beans cassoulet.
William – yang tahu bahwa saya penggemar keju – sebelumnya memang sudah wanti-wanti agar saya "menyisakan tempat" di perut untuk dessert yang disajikannya, yaitu keju dari susu kambing Vacheron Mont d’Or, yang sengaja didatangkannya dari Prancis untuk makan malam kami itu. Kejunya sangat halus dan lunak, sehinga tidak dapat dipotong, melainkan disendok. Disantap dengan potongan baguette yang garing.
Tetapi, ternyata, di meja dessert ada pencuci mulut yang – menurut saya – jauh lebih istimewa dari keju khusus itu. William rupanya membuat es krim berkualitas gelate yang disebutnya sebagai lemon curd. Rasanya lembut seperti mengandung susu, tetapi ternyata tidak dibuat dengan susu, melainkan dengan sedikit mentega, jus lemon murni (tanpa air, sehingga tidak terjejaki rasa kristal air beku di lidah), dan kuning telur. Es krim lembut ini disajikan dengan pear yang dimasak dalam gluhwein (anggur merah yang dipanaskan dengan berbagai rempah seperti kayu manis, cengkeh, kapulaga), sehingga benar-benar menciptakan suasana Natal yang sangat pas. Bau khas gluhwein itu membuat saya mau tak mau terkenang pada malam-malam menjelang Natal yang dingin di Eropa, ketika gluhwein dijual di pasar malam yang menjual berbagai keperluan Natal.
Ah, siapa sih yang tidak ingin Natal 2006 segera tiba lagi, agar dapat segera pula menikmati makan malam spesial seperti ini? Terima kasih, William dan Lucy yang telah menjadi tuan dan nyonya rumah yang istimewa malam itu.

No comments: