Thursday, March 26, 2009

Lapisan Anti-gores Super dari Cangkang Kepiting

Lapisan Anti-gores Super dari Cangkang Kepiting

HANDOUT
Kepiting Haloween (Gecarcinus ruricola) di Nosara, Kosta Rika.
/
Selasa, 17 Maret 2009 | 13:40 WIB
WASHINGTON, KOMPAS.com — Cangkang kepiting yang selalu mengilat menginspirasi para ilmuwan untuk menciptakan lapisan anti-gores super. Selama ada sinar Matahari, lapisan tersebut dijamin mulus bebas goresan.

Lapisan ini tidak sekeras anti-gores umumnya sehingga sewaktu-waktu tetap dapat tergores. Namun, goresan tersebut akan hilang dalam waktu singkat begitu terpapar sinar matahari.

Rahasianya terletak pada molekul-molekul yang menyusun lapisan tersebut. Seperti dilaporkan jurnal Science edisi terbaru, para ilmuwan dari University of Southern Missisippi, AS, membuat mokelul-molekul lapisan akan terikat kembali jika terpapar sinar ultraviolet.

Mereka membuat molekul-molekul berbentuk cincin yang disebut oxetane jika berikatan dengan chitosan yang merupakan bahan utama cangkang kepiting dan sejenisnya. Molekul-molekul tersebut kemudian digabungkan dalam polyurtehane, cairan vernis yang biasa digunakan untuk mengilapkan permukaan kayu hingga pakaian renang.

Goresan pada permukaan lapisan tersebut akan memecah cincin oxetane sehingga memicu reaksi kimia. Jika lapisan terpapar matahari yang mengandung sinar ultraviolet, molekul chitosan akan terbelah dan menyambung cincin oxetane kembali.

"Intinya, jika Anda membuat goresan akan hilang jika terpapar sinar matahari," ujar Profesor Marek Urban, Direktur Sekolah Polimer dan Material Kinerja Tinggi di universitas tersebut. Sejauh ini, bahan yang dibuatnya mampu pulih dalam 30 menit.

Kemampuan material tersebut sangat bermanfaat dalam industri otomotif misalnya untuk mencegah retakan di lapisan komponen, apalagi pendekatan yang dilakukannya tidak membutuhkan bahan tambahan dari luar, seperti lem anti-retak pada umumnya.

Pengguna ponsel pun mungkin tak perlu lapisan anti-gores kelak. Kalau casing saja bisa pulih sendiri kenapa harus ditambah lapisan lain.


WAH
Sumber : BBC

Sunday, March 22, 2009

Lapisan Anti-gores Super dari Cangkang Kepiting

Lapisan Anti-gores Super dari Cangkang Kepiting

HANDOUT
Kepiting Haloween (Gecarcinus ruricola) di Nosara, Kosta Rika.
/

Selasa, 17 Maret 2009 | 13:40 WIB

WASHINGTON, KOMPAS.com — Cangkang kepiting yang selalu mengilat menginspirasi para ilmuwan untuk menciptakan lapisan anti-gores super. Selama ada sinar Matahari, lapisan tersebut dijamin mulus bebas goresan.

Lapisan ini tidak sekeras anti-gores umumnya sehingga sewaktu-waktu tetap dapat tergores. Namun, goresan tersebut akan hilang dalam waktu singkat begitu terpapar sinar matahari.

Rahasianya terletak pada molekul-molekul yang menyusun lapisan tersebut. Seperti dilaporkan jurnal Science edisi terbaru, para ilmuwan dari University of Southern Missisippi, AS, membuat mokelul-molekul lapisan akan terikat kembali jika terpapar sinar ultraviolet.

Mereka membuat molekul-molekul berbentuk cincin yang disebut oxetane jika berikatan dengan chitosan yang merupakan bahan utama cangkang kepiting dan sejenisnya. Molekul-molekul tersebut kemudian digabungkan dalam polyurtehane, cairan vernis yang biasa digunakan untuk mengilapkan permukaan kayu hingga pakaian renang.

Goresan pada permukaan lapisan tersebut akan memecah cincin oxetane sehingga memicu reaksi kimia. Jika lapisan terpapar matahari yang mengandung sinar ultraviolet, molekul chitosan akan terbelah dan menyambung cincin oxetane kembali.

"Intinya, jika Anda membuat goresan akan hilang jika terpapar sinar matahari," ujar Profesor Marek Urban, Direktur Sekolah Polimer dan Material Kinerja Tinggi di universitas tersebut. Sejauh ini, bahan yang dibuatnya mampu pulih dalam 30 menit.

Kemampuan material tersebut sangat bermanfaat dalam industri otomotif misalnya untuk mencegah retakan di lapisan komponen, apalagi pendekatan yang dilakukannya tidak membutuhkan bahan tambahan dari luar, seperti lem anti-retak pada umumnya.

Pengguna ponsel pun mungkin tak perlu lapisan anti-gores kelak. Kalau casing saja bisa pulih sendiri kenapa harus ditambah lapisan lain.

WAH
Sumber : BBC

Ilmuwan India Temukan 3 Bakteri Anti-UV di Stratosfer

Ilmuwan India Temukan 3 Bakteri Anti-UV di Stratosfer

ISRO
Balon raksasa di National Baloon Facility di Hyderabad, India.
/

Kamis, 19 Maret 2009 | 20:28 WIB

NEW DELHI, KOMPAS.com — Sedikitnya tiga spesies bakteri yang tidak pernah ditemukan di muka bumi ternyata ditemukan hidup di stratosfer, lapisan atas atmosfer. Penemuan tersebut merupakan hasil penelitian para ilmuwan India.

Perburuan kehidupan renik di atas bumi dilakukan menggunakan sebuah balon udara raksasa yang diterbangkan pada ketinggian antara 20-41 kilometer. Balon yang dioperasikan Tata Institute of Fundamental Reserach (TIFR) itu diterbangkan dari National Baloon Facility di Hyderabad.

Muatan balon tersebut membawa instrumen penelitian seberat 459 kilogram yang direndam dalam tabung silinder berisi 38 kilogram cairan neon. Instrumen tersebut didesain untuk mengumpulkan sampel dari udara di sekitarnya kemudian dijatuhkan dengan parasut. Sampel tersebut kemudian dianalisis Pusat Biologi Sel dan Molekul di Hyderabad dan Natural Center for Cell Science (NCCS).

Secara keseluruhan, instrumen mendeteksi 12 jenis bakteri dan enam jenis koloni jamur dari stratosfer. Sebanyak 98 persen di antaranya memiliki sifat genetik yang sama dengan mikroorganisme sejenis di bumi.

Namun, tiga bakteri ini di antaranya benar-benar baru. Masing-masing dinamai PVAS-1, B3 W22, dan B8 W22. Dibandingkan sebagian besar lainnya, ketiga bakteri sama-sama memiliki daya tahan terhadap paparan sinar ultraviolet.

PVAS-1 masuk dalam genus Janibacter dan telah diberi nama ilmiah Janibacter hoylei sp. nov. untuk menghormati seorang pakar astrofisika terkemuka Fred Hoyle. Bakteri kedua B3 W22 diberi nama Bacillus isronensis sp. nov. yang diambil dari ISRO (Indian Space Research Organization). Adapun bakteri ketiga diberi nama Bacillus aryabhata dari nama astronom legendaris dari India dan juga nama satelit pertama buatan ISRO.

WAH
Sumber : PHYSORG

Ubah Sampah Jadi Kompos Bokashi

Ubah Sampah Jadi Kompos Bokashi

KOMPAS.COM/HINDRA
Tiga buah alat pengolah sampah organik di Rumah Kompos yang terletak di Kampung Pulo RT 10. Rumah Kompos telah mengolah sampah organik masyarakat Bukit Duri RT 05, 06, 07, 08 dan Kampung Pulo RT 10.
/
Artikel Terkait:
Pemerintah Akan Tertibkan Pupuk Organik
Komposisi Makanan Seimbang bagi Anak
Makanan Laut Usir Malnutrisi
Tanggulangi Sampah dengan Rumah Kompos
Konser WPO Kampanyekan "Vote Komodo for New 7 Wonders"

Selasa, 17 Maret 2009 | 22:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Masih ingatkah Anda kejadian di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bandung juga Bantar Gebang?. Tragis dan memilukan. Orang mati gara-gara tertimbun sampah. Padahal perilaku kita yang "suka nyampah" adalah faktor penyebab utama tragedi itu.

Nah bila sudah begini apakah persoalan sampah akan kita biarkan berlanjut, sementara ada solusi untuk menyelesaikannya. Inilah yang dikemukakan oleh Hasmar Rusmendro, dosen fakultas Biologi Universitas Nasional dalam bedah sains "Mengubah Sampah menjadi Sumber Rupiah" di Jakarta, Sabtu (14/3).

"Atas dasar itu, perlu solusi menyikapi sampah dengan 4 R, yakni mengurangi jumlah sampah (reduce), memanfaatkan kembali (reuse), mendaur ulang (recycle) dan mengganti (replace) sejak dari sumber sampah," katanya.

Cara paling jitu adalah memanfaatkan kembali sampah-sampah organik untuk diubah menjadi kompos. Tak perlu repot mencarinya, karena 70 persen sampah Indonesia merupakan sampah organik, berupa sisa-sisa makanan, tanaman (rerumputan, daun), kotoran hewan dan sampah yang bersifat degradebel (mudah diuraikan).

Hasmar pun membagi resep mengubah sampah organik menjadi Kompos Bokashi. Menggunakan bahan utama jerami 200 kg, dipotong potong sepanjang 5-10 cm dan sekam 200 kg. Kedua bahan ini kemudian dicampur dengan dedak 10 kg, gula pasir 10 sendok makan dan cairan EM4 20 sendok makan ditambah air secukupnya. EM4 merupakan larutan fermentasi bagi proses pembusukan unsur organik.

langkah pertama, larutkan EM4 dan gula kedalam air, sementara jerami, sekam dan dedak dicampur secara merata. Setelah itu larutan EM4 secara perlahan ke dalam adonan hingga kandungan air adonan mencapai 30 persen. Bila adonan dikepal dengan tangan, air tidak keluar dari adonan dan bila kepalan dilepas maka adonan akan megar. "Bila hal itu belum terpenuhi, adukan belum sempurna, kembali melakukan pengadukan ulang," sanggah Hasmar.

Adonan tadi selanjutnya ditumpuk di atas ubin kering dengan ketinggian 15-20 cm, kemudian ditutup dengan karung goni, selama 3-4 hari. Pertahankan suhu gundukan adonan antara 40-50 derajat celcius. Jika suhu lebih dari 50 derajat celcius, bukalah karung penutup dan gundukan adonan dibolak-balik, kemudian kembali tutup dengan karung goni. Diamkan selama empat hari.

"Karena suhu tinggi dapat mengakibatkan adonan menjadi rusak karena terjadinya proses pembusukan. Selain itu usahakan pengecekan suhu lakukan setiap 5 jam," jelas Hasmar.

Setelah empat hari, maka adonan telah terfermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik.

C2-09

Dari Kompos Menjadi Tempe

Dari Kompos Menjadi Tempe

Dian Pujayanti
Para siswa SMU sedang mengamati jamur Rizopus di Laboratorium Kimia Universitas Nasional
/
Artikel Terkait:
Ubah Sampah Jadi Kompos Bokashi
Pemerintah Akan Tertibkan Pupuk Organik

Selasa, 17 Maret 2009 | 22:26 WIB

KOMPAS, KOMPAS.com - Tahukah Anda bahwa jamur kompos (media tanam padat hasil pengolahan sampah organik) bisa menjadi bahan utama pembuatan tempe, tempe gembus, dan tahu?

Inilah yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Nasional pada Bedah sains yang mengangkat tema "Mengubah Sampah menjadi Sumber Rupiah" di Jakarta, Sabtu (14/3).

Melalui proses laboratorium kompos diproses sedemikian rupa sehingga menghasilkan jamur bernama Rizopus. Proses ini menurut Ika Sugiarti, mahasiswi Bio Industri Unas hanya bisa dilakukan pada uji laboratorium. Namun, masyarakat umum bisa membeli secara bebas di pasar-pasar tradisional dengan nama Larutempe.

"Ambil satu gram kompos dicampur 10 mili air aqua des. Dari sini campuran itu kembali diencerkan agar proses isolasi benar-benar murni. Kembali diambil lagi 1 mili cairan itu, masukkan kedalam medium selektif dan dicampur dengan 10 mili aqua des. Ini dilakukan selama 10 kali berturut-turut dengan mengawalinya melalui fortex (pengocokan)," katanya saat menjadi pemandu dalam bedah sains tersebut.

Selanjutnya dari 10 medium selektif ini dihasilkan dua bakteri bernama Basilus Naptilus, Pseudunomas dan satu jamur bernama Rizopus.

Dari sini, rizopus bisa langsung dipergunakan untuk kedelai yang akan diubah menjadi tempe, tempe gembus dan juga tahu. Dengan perbandingan satu kilo kedelai yang telah direbus menggunakan satu gram rizopus, begitupun dengan tempe gembus dan tahu.

Masa fermentasi, menurut Ika tidak jauh berbeda dengan produk pasar lainnya (larutempe) yang menghabiskan waktu 2-3 hari.

Namun Ika dan kawan-kawan belum melepas ke pasar Indonesia. "Ya, ini hanya sebatas uji laboratorium dan proses pembelajaran teman-teman akademik," Ika merendah.

Kata Ika, penelitian ini telah dilakukan sejak 2004. Berangkat dari ketidakpuasan mengolah sampah-sampah organik menjadi kompos, Ika dan kawan-kawan lantas berinovasi bagaimana menghasilkan jamur dari kompos yang lebih menghasilkan uang. Jadilah uji laboratorium, yang menghasilkan bakteri rizopus.

Menurut Ika sampah organik berasal dari aktivitas harian mahasiswa Unas berikut daun-daun di sekitar kampusnya. "Kenapa organik, karena proses pembusukan relatif cepat dan mudah, selain itu material yang dibutuhkan tidak terlalu mahal dan masih tersedia di alam," ungkapnya.

Institusinya menyadari dampak sampah pada lingkungan tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, namun lembaga pendidikan dan juga masyarakat ikut bertanggung jawab.

C2-09