Thursday, June 01, 2006

PENAWAR EFEK RUMAH KACA

Kutub Utara Dulunya Bersuhu Tropis

Jakarta, Kamis


Kirim Teman | Print Artikel
ist
Kutub Utara pada awalnya merupakan wilayah yang hangat namun berubah menjadi dingin sejak perkembangan paku-pakuan Azolla meledak sekitar 45 juta tahun lalu.

Berita Terkait:
• Kutub Utara Magnet Bumi Bergeser
• Daratan Es Greenland Semakin Berkurang
• Dasar Laut Kutub Utara Simpan Kehidupan Unik

Sekitar 55 juta tahun lalu, Kutub Utara mungkin bukan daerah beku seperti saat ini dan memiliki temperatur sehangat daerah tropis. Pendapat tersebut muncul setelah para ilmuwan mempelajari lapisan tanah yang diambil hingga kedalaman 400 meter dari dasar Laut Arktik.

Tim peneliti internasional menemukan bahwa wilayah paling utara di Bumi itu mengalami transformasi dari suatu daerah yang hijau menjadi daerah beku. Temuan ini dilaporkan dalam tiga makalah yang dimuat jurnal Nature.

Sebelumnya, pemahaman mengenai sejarah masa lalu Kutub Bumi masih sangat terbatas. Para ilmuwan kesulitan mengambil bukti-bukti dari wilayah yang bersuhu ekstrim dan hampir seluruhnya tertutup lapisan es.

Namun, sejak Ekspedisi Inti Arktik (Acex) diluncurkan pada 2004, para peneliti berhasil memperoleh sampel tanah dengan mengebor dasar Laut Arktik hingga kedalaman 400 meter.

Lapisan tanah dari zaman ke zaman terlihat dengan jelas dari dalam tabung silinder yang dipakai. Sampel lapisan tanah tersebut diambil dari Pegunungan Lemonosov yang memanjang sejauh 1.400 kilometer di dasar laut antara Siberia hingga Greenland.

Dengan mempelajari mineral dan fosil yang tersisa di setiap lapisan tanah, para peneliti dapat mempelajari sejarah wilayah tersebut. Bagian terbawah dari lapisan tersebut menunjukkan peristiwa yang terjadi di Arktik selama zaman Paleocene/Eocene yang bersuhu tinggi sekitar 55 juta tahun lalu.

Karakteristik tanah menunjukkan bahwa 55 juta tahun lalu, tidak ada es sedikit pun di permukaan Laut Arktik yang suhunya sekitar 18 derajat Celcius. Namun, peningkatan efek rumah kaca menaikkan suhunya hingga 24 derajat Celcius sehingga spesies alga tropis Apectodinium dapat hidup di perairannya.

"Periode ini berkaitan erat dengan efek rumah kaca besar-besaran yang melanda Bumi," kata Apply Sluijs, seorang paleontolog dari Universitas Utrecht, Belanda yang juga penulis utama salah satu makalah.

"Pada dasarnya, itu juga akan terjadi jika atmosfer Bumi mengandung gas rumah kaca dalam jumlah besar dan suhu Bumi akan meningkat sekitar 5 derajat Celcius," imbuh Sluijs. Kemungkinan terjadinya perubahan ini telah dipelajari secara global, namun Arktik mendapat perhatian lebih.

Dari bukti ini, suhu Arktik pada zaman Paleocene ternyata lebih tinggi dari perkiraan. Dengan pemodelan iklim, para ahli sebelumnya memprediksi bahwa suhu di wilayah tersebut 15 derajat Celcius lebih rendah.

Melawan efek rumah kaca

Pada makalah kedua, yang ditulis oleh Henk Brinkhuis, juga dari Universitas Utrecht, melaporkan bahwa Laut Arktik mengalami bentuk transformasi lainnya sekitar 50 juta tahun lalu. Perairan di sana berubah dari asin menjadi tawar dan mulai ditumbuhi jenis paku-pakuan bernama Azolla.

"Dengan pemodelan iklim, kami berasumsi bahwa pada awal periode Eocene terdapat pasokan air tawar ke perairan di sana dari hujan dan aliran sungai besar di Kanada dan Siberia," kata Profesor Brinkhuis. Pada akhirnya, lingkungan yang berubah menjadi cocok untuk perkembangan Azolla.

Ia yakin pertumbuhan jenis paku-pakuan secara besar-besaran akhirnya menyebabkan penurunan suhu di wilayah tersebut. Menurut Brinkhuis, ketika jumlahnya berlebih hingga memenuhi seluruh perairan, maka akan menyedor karbon dioksida besar-besaran dari atmosfer.

Mekanisme ini merupakan bentu kebalikan dari efek rumah kaca. Ia berpendapat mulai saat itulah perlahan-lahan terjadi perubahan dari lingkungan yang hangat menjadi sangat dingin.

"Lima ratus ribu tahun setelah Azolla ditemukan, kami menemukan batuan yang pertama," kata Brinkhuis yang juga penulis utama makalah ketiga tentang susunan lapisan es di Arktik. Batuan-batuan ini merupakan sejenis dengan yang ditemukan di pulau es, pegunungan es, dan perairan beku. Jadi, mungkin saat itu sudah cukup dingin untuk terbentuk es.

Sebelumnya, es di belahan Bumi utara diperkirakan terbentuk sejak tiga juta tahun lalu. Namun, bukti batuan menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin telah terjadi setidaknya sejak 45 juta tahun lalu.

Perbedaan antara temuan langsung dengan hasil pemodelan iklim menggugah para peneliti untuk mempelajari sejarah Bumi lebih dalam. Jika temuan ini benar dan meyakinkan, pemodelan iklim harus direvisi agar prediksi perubahan iklim di masa mendatang lebih akurat.

No comments: